Minggu, 28 Desember 2008

Pelajaran Membunuh Polisi

Ditulis pada Jumat, 17 Maret 2006, tulisan ini pernah dipublikasi di Koran Tempo. Walau ditulis hampir tiga tahun silam, topiknya ternyata masih relevan hingga saat ini.

RANGKAIAN tayangan itu meremukkan jantung.

Berlatar plang Universitas Cendrawasih (Uncen), Abepura, Papua, dua kelompok berhadapan. Polisi dilengkapi asesoris PHH (helm, tameng fiber, dan pentungan) menghadapi massa campuran mahasiswa dan pemuda bersenjata batu, kayu, dan aneka alat kekerasan primitif lain.

Huru-hara meledak, tak terelakkan. Polisi melepaskan gas air mata, massa melontarkan batu, merangsek polisi, saling berkejaran. Polisi terdesak dan mundur. Kamera menangkap sesosok polisi jatuh, lalu seorang lagi, yang kemudian dihajar, diinjak, dihantam potongan kayu, dan --masya Allah— ditimpa batu sebesar kepala orang dewasa.

Kebrutalan dan sadisme telanjang itu bukanlah potongan film dari sutradara-sutradara Hollywood penyuka gambar-gambar berdarah seperti Martin Scorsese, Quentin Tarantino, atau John Woo. Melainkan, reportase berita pembubaran paksa massa pengunjuk rasa anti perusahaan tambang PT Freeport yang memblokir dan memalang ruas jalan di depan Kampus Uncen oleh polisi, yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi Indonesia sejak Kamis petang (16 Maret).

Massa pengunjuk rasa dihantam polisi bukanlah hal asing. Sebaliknya, sejak beberapa tahun terakhir (dengan menguatnya isu hak asasi manusia –HAM—dan politik reformasi) polisi dihajar massa pengunjuk rasa, atau bahkan tewas dianiaya, juga tak lagi jadi kabar istimewa.

Kebebasan yang dinikmati media massa di Indonesia, terutama televisi, menjadikan publik bisa menyaksikan apa saja, langsung dan bahkan seketika. Walau, sebagian publik juga paham televisi pun bisa melakukan manipulasi, semisal menggambarkan unjuk rasa yang hanya diikuti puluhan orang seakan berjumlah ratusan.

Jujur atau manipulatif dengan gambar, sama dimungkinkannya di layar televisi. Dan karena itu pula sejumlah syarat dan standar (lebih dari sekadar tanggungjawab profesi) harusnya ketat dianut para profesional pertelevisian. Tayangan berita, misalnya, setidaknya mengindahkan kode etik jurnalistik, yang di Indonesia bahkan sudah disepakati bersama oleh semua organisasi para jurnalis, termasuk jurnalis televisi.

Bila stasiun televisi menolak regulasi seperti yang disiapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan alasan adalah kebebasan dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan utuh; maka minimal para praktisinya bisa bekerja dengan panduan etika dan standar profesi. Faktanya, tayangan sadistik yang telanjang mengambarkan bagaimana sejumlah orang menganiaya seorang polisi hingga merenggang nyawa di depan Kampus Uncen itu, menunjukkan betapa etika dan standar profesionalisme pekerja televisi Indonesia kini tengah berada di titik yang benar-benar mengundang iba dan malu: jauh di bawah standar minimal.

Pun, hampir semua lini yang terlibat dalam rangkaian kerja news room stasiun bersangkutan (produser hingga reporter lapangan) diterjang amnesia hingga lupa bahwa salah satu butir kode etik yang disepakati jurnalis di negeri ini menyatakan: ‘’Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban kejahatan susila.’’

Tetapi, perilaku ‘’jauh di bawah’’ standar itu tampaknya memang disengaja dan terus-menerus diulang oleh stasiun-stasiun televisi di negeri ini; lewat berbagai tayangan yang kerap tidak mengundang perhatian lebih karena skala peristiwa atau pihak-pihak yang terlibat. Tragedi di Abepura hanyalah salah satu puncak dari ‘’gunung es’’ brutalitas dan sadisme di layar televisi, yang parahnya lagi bahkan sering dengan sadar didisain oleh para jurnalisnya.

Sebagian kecil orang tentu masih ingat bagaimana dalam satu peristiwa di Aceh (sebelum ditanda-tanganinya kesepakatan damai Perintah RI dan GAM), jurnalis salah satu stasiun teve besar ‘’menyarankan’’ aparat menembak orang yang disangka anggota GAM, agar ada yang bisa diberitakan. Saran yang terekam kamera kemudian menyebar ke publik itu adalah ‘’dorongan manipulasi untuk reportase’’, yang mestinya bisa digolongkan sebagai skandal dan aib. Sayangnya, peristiwa tersebut berlalu dan dilupakan begitu saja oleh kalangan jurnalis televisi dan publik.

Ilmu sosial, terutama sosiologi, dengan mudah bisa menjelaskan mengapa di Indonesia –yang lebih 30 tahun berada di bawah represi politik otoritarian dan sentralisme—menyimpan potensi besar anarki yang siap meledak. Ketidak-puasan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, setiap saat rentang memicu kemarahan berujung amuk. Potensi ini, yang dalam isu Freeport terus-menerus ‘’dikipasi’’ oleh sejumlah tokoh dan aktivis, meledak menjadi rusuh; lalu kini dengan cepat dibibitkan dan disebarkan oleh media (terutama televisi) lewat tayangan yang mungkin bahkan --menyitir Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosentiel--, ‘’telah berlawanan dengan hati nurani jurnalisnya sendiri’’.

Saya yakin, begitu menyaksikan sadisme di Abepura para orangtua segera ‘’meneriakkan’’ betapa berbahaya tayangan itu terhadap memori anak-anak yang menonton. Anak-anak, pihak yang paling mudah dipengaruhi dan belajar dari tayangan televisi, mendapat pelajaran gamblang bagaimana cara mudah membunuh polisi lewat aksi massa dalam jumlah besar.

Namun konsern utama sesungguhnya bukanlah dampak tayangan kekerasan (dan juga pornografi) terhadap anak-anak semata; tetapi bagi seluruh masyarakat dan peradabannya di Indonesia. Sebab, televisi dan umumnya media, juga aktor-aktor yang turut mengipasi lahirnya sadisme Abepura, sebagaimana biasa dengan mudah bisa berdalih dan melepaskan tanggungjawab atas tragedi itu.

Tapi yang tak bisa diabaikan begitu saja adalah, tayangan itu berpotensi menjadi sumber inspirasi bagi tiga kemungkinan: Pertama, replikasi oleh para pengunjuk rasa atau aksi massa sejenis di tempat lain, atas nama tuntutan banyak orang. Kedua, kekerasan dari aparat yang terancam oleh sadisme seperti itu. Dan ketiga, brutalitas individu-individu dalam masyarakat yang merasa terancam oleh perilaku sadisme massa.

Tiga kemungkinan itu adalah isu lezat bagi jurnalis televisi dengan etika dan standar yang amat sangat longgar seperti Indonesia. Juga bagi para aktor politik dan kelompok-kelompok yang memang bergiat mendorong masyarakat mengekspresikan pendapat dan tuntutannya hingga level sangat radikal.

Akan halnya bagi orang kebanyakan, selain menjadi teror mental yang bertahan lama di memori, tayangan sadisme Abepura memperjelas ketakutan betapa negara makin tidak berdaya melindungi rakyatnya; dan betapa mudah siapa pun tewas di jalanan dengan alasan apapun. Juga, bila pelajaran (dan praktek) bagaimana mudahnya membunuh polisi kini bisa ditayangkan tanpa sensor di televisi; tak heran sebentar lagi pelajaran dan praktek membunuh jaksa, hakim, politikus, hingga pemuka agama, juga akan jadi tontonan biasa.***