Rabu, 19 Desember 2007

Konspirasi Dungu

Tulisan ini sudah dipublikasi oleh Koran Tempo, Rabu 19 Desember 2007, halaman A11. Kasus Bersihar Lubis, menurut saya, memberikan pelajaran lain, bahwa solidaritas di kalangan media makin minim. Tidak banyak media yang memberikan perhatian, apalagi simpati, empati, dan dukungan terhadap Bersihar. Padahal, kasus ini bisa berdampak jangka panjang bagi perkembangan media, lebih khusus kreativitas berfikir, dunia tulis menulis, dan sikap kritis, di negeri ini.

PENULIS (opini) di Indonesia, waspadalah!

Gara-gara tulisan kolom di Koran Tempo, Sabtu 17 Maret 2007 (Kisah Interogator yang Dungu), Bersihar Lubis diseret ke depan hukum. Di sidang yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Jawa Barat, mantan wartawan ini dijerat pasal 207 KUHP karena menghina suatu penguasa atau badan umum di muka umum dengan lisan atau tulisan, serta pasal 316 jo pasal 310 (ayat 1) tentang pencemaran nama baik –dalam hal ini Kejaksaan Agung. Ancamannya: pidana delapan bulan penjara.

Sejatinya, perkara yang melibat Bersihar Lubis bukan yang pertama di negeri ini. Namun, umumnya kasus-kasus seperti ini dengan cepat terlupa –apalagi yang dijerat hanya wartawan daerah yang bekerja di media lokal; atau penulis tak dikenal--, kecuali yang pernah disangkakan pada almarhum HB Jassin.

Pada 1968 kejaksaan membawa Pemimpin Redaksi Majalah Sastra itu ke depan hukum gara-gara pemuatan cerita pendek Langit Makin Mendung (LMM) yang ditulis Ki Panji Kusmin. Bahkan, Jassin yang belakangan ditahbiskan menjadi Paus Sastra Indonesia pun dibui gara-gara membela pemuatan cerita ini.

Perkara Bersihar Lubis dan LMM jelas tak dapat disetarakan. Bersihar menulis fakta dilengkapi analisis dan pendapatnya; sedangkan Ki Panji Kusmin menuliskan tafsir imajinatif yang menyerempet sosok Nabi Muhammad SAW, yang berpotensi pencemaran dan penghinaan bagi para pemeluk Islam.

Apa yang terjadi setelah hampir 40 tahun publikasi LMM? Jassin sudah ’’berpulang’’ dengan nama yang harum di peta sastra Indonesia; Ki Panji Kusmin tak ketahuan nasibnya; dan LMM bisa dengan mudah ditemukan –termasuk dengan mengunduh dari Internet. Dan yang terpenting: kini, setelah membaca LMM, tidak ada umat Islam yang meradang; apalagi menumpahkan darah.

Lepas dari perkara kebebasan pendapat yang dijamin Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945; dan khusus untuk opini sebagai karya jurnalistik oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kasus Kejaksaan Agung versus Bersihar Lubis ini menjelaskan beberapa hal:

Pertama, logika hukum institusi penegakan hukum seperti kejaksaan ternyata gagap menerjemahkan kasus sesederhana Kisah Interogator yang Dungu.

Kedunguan interogator dari kejaksaan yang dikutip Bersihar sejatinya adalah pernyataan Joesoef Ishak dari Penerbit Hasta Mitra (yang menerbitkan hampir semua karya Pramoedya Ananta Toer) pada 2004. Harap diingat, sebagaimana pengakuan Bersihar, Majalah Medium sudah pernah memuat kutipan ini di tahun yang sama.

Pernyataan Joesoef Ishak itu berkaitan dengan maraknya pelarangan beberapa versi buku sejarah SMP dan SMU karena tak mencantumkan peristiwa G 30 S, kembali dikutip dalam tulisan yang dimuat di Koran Tempo.

Bagi saya yang sangat awam masalah hukum, ada logika tak genah ketika Bersihar Lubis dijerat hukum sedang Joesoef Ishak sebagai sumber; Majalah Medium sebagai yang pertama mempublikasi; dan Koran Tempo yang mempublikasi ulang –dalam konteks dan versi yang lain--, sama sekali tidak disentuh.

Dengan logika hukum yang benar, para pihak itu harusnya diseret ke pengadilan dan didakwa dengan pasal lebih berat karena secara bersama-sama berkonspirasi menghina dan mencemarkan nama baik institusi negara, sekaligus menyiarkannya. Apalagi keputusan menyiarkannya paling tidak telah melewati rapat redaksi di dua media yang dirujuk, Majalah Medium dan Koran Tempo.

Kedua, penguasaan Bahasa Indonesia aparat kejaksaan (terutama dua jaksa yang menjadi saksi pelapor, Pudin Saprudin dan Abdul Syukur), sungguh menyedihkan.

Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) Edisi Ketiga (2006) terbitan Balai Pustaka, W. J. S. Purwadarminta menjelaskan, dungu berarti: sangat tumpul otaknya (pikirannya); tidak mudah mengerti; bodoh. Sedang Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, juga terbitan Balai Pustaka (2005), memaknai dungu sebagai: sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh.

Apa yang salah dengan seorang interogator yang tidak mudah mengerti atau tidak cerdas? Apa pula yang salah bila ada atasan yang tidak mudah mengerti atau tidak cerdas, memerintahkan seorang bawahan yang juga tidak mudah mengerti atau tidak cerdas, melakukan sebuah pekerjaan penting seperti interogasi? Kejaksaan toh bukan institusi para malaikat.

Ketiga, kasus ini dengan gamblang memaparkan bahwa institusi penegakkan hukum di negeri ini gemar menggunakan standar ganda. Kalau dungu adalah aib, bagaimana dengan jaksa yang makan suap; main narkotika; atau memeras tersangka sebagaimana yang bertebaran di media massa? Tidakkah penyiaran perilaku jaksa seperti itu lebih menghina dibanding kedunguan karena tak bisa menjelaskan isi sebuah buku?

Faktanya, bila ada jaksa yang terbukti makan suap; main narkotika; atau memeras tersangka, dengan gesit institusi ini melekatkan kata oknum. Karena oknum, maka yang bersangkutan harus dimutasi atau dipecat agar nama baik institusi tak cemar.

Mengapa standar yang sama tidak diterapkan untuk sang interogator yang dungu?

Keempat, kegamangan institusi penegakkan hukum seperti kejaksaan dalam melaksanakan kewajibannya. Seberapa penting perasaan terhina subyektif bagi kejaksaan dibanding mengungkapkan, misalnya, kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), tuduhan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto, atau pembunuhan aktivis HAM Munir?

Tidakkah institusi kejaksaan merasa lebih terhina karena dituduh hanya berani mengurusi masalah sepele, yang melibatkan orang biasa (tanpa kuasa atau kapital besar) seperti Bersihar, dengan kasus yang amat sumir pula? Mampukah pula kejaksaan menelisik semua publikasi, terutama Internet, dan menyeret orang-orang yang kian biasa melontarkan bukan hanya kritik tetapi aneka makian terhadap institusi negara dan penegak hukum di negeri ini?

Dalam skala tertentu, apa yang ditulis Bersihar justru tergolong belum seberapa, dibanding, misalnya, yang ditulis Michael Moore di Amerika Serikat. Apa reaksi institusi penegak hukum bila di Indonesia ada penulis seberani Moore yang dengan lancang menyebut Presiden AS Goerge Bush sebagai thief-in-chief di buku best seller-nya, Stupid White Men (Regan Books, 2001).

Lepas dari susah payahnya kita ingin menegakkan demokratisasi, di mana kebebasan bicara dan kritik adalah kewajiban dan hak bagi warga negara --terutama terhadap institusi negara--, gugatan terhadap Bersihar sungguh jauh dari logika paling normatif sekaligus.

Lalu apa pelajaran terpenting yang dapat dipetik dari kasus ini?

Menurut hemat saya, yang mesti sungguh-sungguh diindahkan adalah: bersalah atau tidak Bersihar Lubis, ’’ketersingungan’’ institusional Kejaksaan Agung –eksplisit dan implisit-- justru mengabsahkan memang ada interogator dungu di tubuh institusi ini. Dan kalau pun Bersihar Lubis akhirnya dihukum, lebih pada pembenaran bahwa menulis dan menyiarkan kedunguan adalah perbuatan pidana.

Dengan kata lain, Pusat Bahasa pun harus memberi peringatan khusus pada kata dungu, agar tidak ada lagi orang dungu yang sembarangan menggunakan dan menyiarkannya.***

Jakarta, 8 Desember 2007.-

Minggu, 16 Desember 2007

Tragedi Emil Salim

DI PANGGUNG Kampung Bali CSF (Civil Society Forum), Nusa Dua, Jumat petang (7 Desember 2007), Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim, Emil Salim, diteriaki dengan sebutan komprador oleh sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Tudingan komprador (antek negara asing) itu dengan segera menyebar lewat email, situs-situs berita, dan media massa, termasuk Kompas yang mempublikasikan di edisi Sabtu 8 Desember 2007 (Perubahan Iklim: Emil Salim Merasa Tersinggung). Apa yang terjadi pada Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) yang di beberapa dekade terakhir nyaris sendirian berada di garis terdepan di generasinya memperjuangkan isu lingkungan di Indonesia, sungguh sebuah tragedi.


Mestinya bukan hanya Emil Salim—yang digambarkan dalam banyak pemberitaan segera meninggalkan tempat— yang pantas tersinggung; tapi seluruh masyarakat Indonesia, dan lebih khusus lagi kalangan aktivis lingkungan sendiri. Suka atau tidak, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam isu-isu lingkungan tokoh yang kegigihan dan konsistensinya setara Emil Salim tidaklah banyak di negeri ini. Untuk menyebut jumlah yang amat sangat sedikit itu, salah satunya hanya Profesor Otto Soemarwoto.

Rakyat negeri ini pantas tersinggung karena Emil Salim adalah Ketua Delegasi Indonesia. Tokoh-tokoh yang terpilih sebagai anggota delegasi adalah nama-nama kredibel yang sudah teruji di bidangnya masing-masing. Mereka tidak hanya merepresentasikan kehadiran Indonesia di forum internasional itu; tetapi juga mewakili dan memperjuangkan seluruh kepentingan negara dan bangsa di hadapan isu perubahan iklim global.

‘’Penghinaan’’ terhadap seorang Ketua Delegasi –bahkan kalau pun hanya terhadap Emil Salim pribadi, mengingat ketokohannya—sungguh aib yang tidak beradab. Apalagi bila hal sedemikian dilakukan oleh para aktivis (lingkungan) yang mengklaim dirinya peduli dan memperjuangkan kepentingan lingkungan di negeri ini.

Tindakan itu tak beda dengan mencoreng wajah sendiri di hadapan negara dan bangsa yang lain.

Dan kalangan aktivis lingkungan di Indonesia? Astaga, siapakah elit LSM dan tokoh-tokoh penggerak isu lingkungan di negeri ini yang tak menaruh hormat dan penghargaan tinggi pada Emil Salim? Tentu bukan tanpa kritik, sebab sebagai salah seorang dari kelompok arsitek ekonomi orde baru (Orba) –dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley--, sedikit-banyak Emil Salim juga punya sumbangsih terhadap orientasi ekonomi Indonesia yang sangat lapar sumber daya alam.

Namun, sekeras apapun kritik kalangan aktivis dan pro lingkungan di Indonesia, tak ada yang bisa membantah bahwa selama 15 tahun menjabat Meneg LH, Emil Salim menjadi salah satu ujung tombak perjuangan menyeimbangkan orientasi ekonomi yang lapar SDA dan pembangunan yang mengindahkan keberlanjutan ekologi. Di masa Emil Salim pulalah, atas peran dan dukungannya, organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) leluasa tumbuh dan berkiprah.

Dengan kata lain, sehebat apapun para aktivis –saya yakin umumnya masih berusia muda—yang meneriakkan tuduhan komprador, mereka jauh dari layak memberikan penghakiman, bahkan bila seluruh nilai-nilai positif peran Emil Salim di negeri ini habis dikurangi nilai negatifnya.

Banalnya perilaku para aktivis lingkungan itu bukan tak terduga sebelumnya. Hans Antlov, Rustam Ibrahim, dan Peter van Tuijl sudah menuliskan kekuatiran terhadap sepak terjang LSM dan para aktivisnya di Indonesia di era setelah jatuhnya rezim Orba pada 1998 (NGO Governance and Accountabilty in Indonesia: Challenges in a Newly Democratizing Country), yang menjadi salah satu bab dalam NGO Accountability: Politics, Principles & Invovations (Earthscan, London, 2006).

Salah satu kekuatiran Antlov, Ibrahim, dan van Tuilj adalah, kalangan LSM yang lepas dari kungkungan dan represi serta marginalisasi rezim Orba, hanya punya sedikit pengalaman membangun hubungan positif dengan pemerintah, sektor swasta, dan bahkan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Padahal, tantangan yang dihadapi makin kompleks, dan kalangan LSM dan aktivisnya bukan lagi satu-satunya pihak yang bisa meng-klaim sebagai garda depan memperjuangan kepentingan masyarakat; dan juga kepentingan menjaga ekologi dan keberlangsungan lingkungan dalam konteks gerakan kesadaran lingkungan.

Kegagapan orientasi LSM dan aktivisnya itulah yang ditunjukkan saat menghakimi Emil Salim dengan tuduhan komprador. Masalahnya, apakah kalangan LSM, utamanya kelompok yang bergabung dan CSF, menyadari bahwa perilaku para aktivis itu bukan hanya berpotensi kerusakan jangka pendek?

Harus diingat, bila tokoh sekaliber Emil Salim yang sudah teruji konsistensinya masih diperhinakan, bagaimana dengan pengusung gerakan lingkungan lain yang ketokohannya belum setara?

Tak pelak, tragedi yang menimpa Emil Salim di Panggung Kampung Bali CSF adalah titik balik dan tanda awas bagi gerakan lingkungan di Indonesia. LSM lingkungan dan para aktivisnya harus mulai menyadari, kita bukan hanya hidup di bumi yang sama dengan problem yang sama; tetapi juga memperjuangkan kesadaran tidaklah mesti diklaim sebagai pertempuran dan peperangan satu pihak saja melawan banyak pihak yang lain.

Kesendirian, seberapa pun ideologis, kuat, dan radikalnya, selalu berakhir sia-sia.***

Jakarta, 8 Desember 2007.-

Percakapan dengan ‘’Korban Pencemaran’’ Teluk Buyat

SENIN pagi, 26 November 2007, di salah satu ruangan College of Social Work and Community Development (CSWCD), University of The Philippines (UP) Diliman, Quezon City, saya bertemu Surtini Paputungan.

Di UP Diliman, Surtini –sebagaimana saya—hadir di konferensi Reframing The Mining Debate: Demystifying Paradigms and Mobilizing Global Resistance. Konferensi ini dilaksanakan The Legal Rights and Natural Resources Center-Kasama sa Kalikasan (LRC-KsK/Friends of the Earth-Philippines) bekerjasama dengan Indigenous Peoples Links(PIPLinks), The Mineral Policy Institute (MPI) Australia, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Indonesia, dan mines, minerals & PEOPLE (mm&P) India.

Di konferensi yang diklaim dan dipublikasi sebagai pertemuan antar disiplin ilmu ini, perempuan berusia 35 tahun asal Desa Buyat yang pernah bermukim di Teluk Buyat tapi lalu hengkang ke Desa Duminanga bersama maraknya isu pencemaran oleh tailing PT Newmont Minahasa Raya (NMR) itu, punya peran penting: menyampaikan kesaksian dan derita korban tambang.

Dan memang, di kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti tambang di Indonesia, Surtini bukanlah ‘’korban pencemaran’’ biasa. Keahliannya menuturkan derita seorang korban, dilengkapi tangis pedih mengharu-biru dan lelehan airmata, membuat dia jadi salah satu ‘’artis’’ favorit di kampanye-kampanye anti tambang.

***

Sebelum pertemuan dengan Surtini terjadi, saya yang sudah hadir di gedung CSWCD sejak pukul 8 pagi, masih bersikutat dengan panitia konferensi. Saat melakukan registrasi, salah seorang panitia, Anabel Julian, memberitahu –lengkap dengan permohonan maaf-- bahwa dengan terpaksa persetujuan kehadiran saya dibatalkan.

Tentu pemberitahuan itu sangat mengejutkan karena Anabel Julian pulalah yang pada Rabu, 21 November 2007, bicara per telepon dengan sekretaris saya dan mengkonfirmasi keikut-sertaan itu. Apa alasan pembatalan saya?

Saya bertanya sambil tersenyum, bahkan melontarkan candaan, apa yang dikuatirkan dari kehadiran saya? Mestinya saya yang kuatir karena menjadi satu-satunya peserta dari perusahaan tambang di tengah aktivis LSM anti tambang dan warga yang ’’katanya’’ adalah korban tambang.

Dikonfrontir dengan persetujuan yang sudah diberikan sebelumnya, Anabel salah tingkah dan minta waktu berkonsultasi dengan Koordinator Panitia, Judy Pasimio.

Saat menunggu proses konsultasi itulah, tiba-tiba saya melihat Surtini Paputungan berdiri di samping saya. Sebagai orang yang tahu sepak-terjangnya dan sesama orang Indonesia (apalagi saya dan Surtini berasal dari kabupaten yang sama di Sulut), setelah bertukar senyum dan jabat-tangan, saya melontarkan pertanyaan normatif: ’’Apa kabar (warga eks pemukim di Teluk Buyat) di Duminanga?’’

Saya juga bertanya apakah Surtini masih berkunjung ke Teluk Buyat dan Desa Buyat, mengingat para kerabatnya tetap bermukim di sana. Apalagi dari perkembangan terkini justru cukup banyak warga eks pemukim Teluk Buyat di Duminanga yang kembali ke Teluk Buyat dan Desa Buyat untuk mencari nafkah.

Di tengah percakapan, karena kami berdua berdiri tepat di pintu masuk-keluar ruang konferensi, saya kemudian keluar dan Surtini mengikuti tanpa paksaan –apalagi ancaman dan sejenisnya.

Perbincangan kemudian dilanjutkan ke berbagai topik, termasuk dana 30 juta dolar AS dari PT NMR yang saat ini dikelola Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Sulawesi Utara (YPBSU), yang dialokasi untuk pemantauan lingkungan serta pengembangan masyarakat di Kecamatan Ratatotok (Minahasa Utara) dan Desa Buyat, Kecamatan Kotabunan (Bolaang Mongondow). Saya juga menyinggung kabar pemukiman untuk warga eks Teluk Buyat yang dibangun di Duminanga, yang saya dengar tidak sesuai spesifikasi teknis sebagaimana yang selama ini dipublikasi berbagai pihak. Dan bagaimana pemukiman warga di Teluk Buyat yang pembangunannya kini dalam proses penyelesaian.

Pembangunan perumahan di Duminanga dan di Teluk Buyat adalah proyek yang didanai pemerintah, dengan kontraktor yang berbeda. Artinya, PT NMR sama sekali tidak terkait dengan proyek ini.

Khusus untuk dana 30 juta dolar AS yang dikelola YPBSU, sambil tertawa saya mengatakan pada Surtini, bahwa yang saat ini menikmati berkahnya adalah warga di Ratatotok dan Desa Buyat. Surtini paham betul konteks kalimat yang saya sampaikan, karena di hari yang sama (Senin, 26 November 2007), di Manado ada demonstrasi besar yang antaranya diikuti beberapa warga eks pemukim Teluk Buyat di Duminanga, yang justru menuntut Pemerintah Propinsi dan DPR Sulut untuk memperhatikan nasib mereka. Bahkan juga menuntut KKTB, dengan menuding-nuding ketuanya (yang juga anggota DPR Sulut), hingga nyaris melahirkan baku-hantam.

Surtini menanggapi candaan saya dengan menyatakan bahwa siapa pun yang mendapatkah berkah dari aktivitas yang dia lakukan dengan warga lain bersama kalangan LSM, layak disyukuri. Sebab, katanya, ’’Mereka juga adalah saudara-saudara saya.’’

Saat ngobrol ngalur-ngidul itu, saya sempat mengingatkan apakah dia tidak kuatir dengan respons para aktivis Jatam yang bersama-sama dia datang ke Quezon City bila melihat kami bercakap-cakap. Surtini menanggapi apa yang saya utarakan dengan argumen perbedaan pendapat tidak harus memutuskan silahturahmi dan hubungan baik antar manusia.

Di bawah langit mendung Quezon City, di koridor CSWCD, saya dan Surtini terus bercakap-cakap diselingi tawa. Hingga Koordinator Jatam, Siti Maemunah, tiba-tiba datang, menggandeng lengan Surtini, dan tanpa permisi mengajak dia pergi. Saya takjub menatap wajah dingin Maemunah yang berlalu sambil berkata, ‘’Ada yang harus kita bicarakan.’’

Orang Indonesia memang penuh tata krama dan sopan-santun.

***

Setelah hampir 2 jam menunggu, sesaat setelah Maemunah membawa Surtini, saya didatangi Judy Pasimia dikuti Anabel Julian. Dengan mengulang perminataan maaf sebelumnya, Judy Pasimio mengemukakan panitia dengan terpaksa membatalkan keikut-sertaan saya dalam konferensi karena ada keberatan LSM mitra dari Indonesia.

Tanpa menyembunyikan keheranan, saya kembali bertanya, ’’Bukankah ini forum terbuka? Dan apa keberatan terhadap keikut-sertaan saya?’’

Menurut Judy Pasimio, delegasi LSM dari Indonesia keberatan sebab mereka ’’discomfort’’ bila ada wakil dari Newmont yang hadir (ketidak nyamanan ini dituliskan pula secara resmi dalam email yang dikirimkan Anabel Julian, yang saya baca Senin petang, 26 November 2007). Judy menambahkan aktivis LSM dari Indonesia menyatakan mereka punya pengalaman warga yang dihadirkan di event-event sejenis selalu mendapat intimidasi bila ada representasi Newmont yang juga hadir.

Mendengar penjelasan Judy, saya menyatakan sangat keberatan dan minta ditunjukkan kapan, di mana, dan apa bentuk intimidasi yang dikaitkan dengan Newmont itu? Saya juga mengingatkan pada Judy bahwa penjelasannya bisa berkonsekwensi hukum yang serius bila tak bisa dibuktikan.

Dengan tegas saya mengemukan bila hal tersebut berkaitan dengan kehadiran Surtini Paputungan yang akan bersaksi tentang tuduhan pencemaran di Teluk Buyat, alasan tersebut sulit saya terima. Saya menunjuk fakta yang baru saja terjadi, bahwa Surtini bisa leluasa berkomunikasi dengan saya. Dan bahkan bukan saya yang berinisiatif menemui.

Argumentasi saya tampaknya menyulitkan Judy Pasimio dan Anabel Julian. Setelah cukup lama berdiam, akhirnya saya menawarkan, saya akan menerima solusi yang paling mungkin tidak menyusahkan panitia. Tetapi, saya tidak bisa menerima begitu saja ada pembatalan keikut-sertaan hanya karena alasan yang dicari-cari.

Judi Pasimio dan Anabel akhirnya meminta waktu untuk bicara lagi dengan mitra mereka. Setelah lebih 30 menit, konklusinya: Panitia mempersilahkan saya hadir sebagai peserta. Namun, dengan sangat memohon agar saya tidak saya hadir sebagai peserta saat Surtini Paputungan menyampaikan kesaksiannya.

Tawa saya meledak mendengar permintaan itu. Saya katakan pada mereka, ’’Bagaimana kalau saya tidak perlu hadir di seluruh sesi pembicaraan, kecuali saat Surtini menyampaikan kesaksiannya. Toh hanya sesi itu yang relevan dengan Newmont. Dan bukankah tema konferensi ini adalah perdebatan tentang operasi tambang. Jadi harusnya panitia, nara sumber, dan peserta tidak perlu kuatir berdebat.’’

Tentu tawaran saya itu tidak termasuk yang dapat diakomodir panitia, yang mempersilahkan ikut –namun amat dilarang di sesi kesaksian Surtini— bahkan tanpa membayar biaya registrasi.

Kesantunan dan kesabaran Judy Pasimio dan Anabel Julian membuat saya menyimpulkan: sikap terbaik adalah menyampaikan penghargaan dan terima kasih, dan meninggalkan arena konfrensi. Paling tidak, saya sudah membuktikan bahwa kalangan tambang, khususnya Newmont, membuka komunikasi seluas-luasnya dan terbuka terhadap dialog, debat, dan kritik yang positif dan produktif.

Sebaliknya, bila kalangan LSM anti tambang, khususnya di Indonesia, bersikap berbeda; itu menunjukkan sejauh mana sesungguhnya kesiapan mereka beradu fakta terhadap isu-isu yang selama ini dikampanyekan.

***

Maka tidaklah mengejutkan membaca publikasi di website Jatam yang di-posting Rabu, 5 Desember 2007, berjudul ’’Newmont & Tiga Puluh Juta Dolar’’ yang ditulis Siti Maemunah. Saya bahkan tak habis kagum dengan keberanian Maemunah memanipulasi fakta yang tidak dia saksikan sendiri; dan kekayaan imajinasinya hingga seolah-olah dialah yang berhadapan dengan saya, dan bukan Surtini Paputungan.

Ada beberapa logika yang bengkok dari ’’laporan’’ Maemunah berkenaan dengan percakapan antara Surtini dengan saya.

Pertama, bagaimana mungkin Surtini yang digambarkan jengkel terhadap pertanyaan-pertanyaan saya (kalau benar saya bertanya), betah ngobrol lama tanpa beban. Kecuali kalau mendekati saya sudah diatur dalam satu skenario apik dan Surtini dilengkapi alat perekam agar apa yang dibicarakan kemudian digunakan sebagai senjata melawan saya.

Kalau pun demikian kejadiannya dan percakapan saya dengan Surtini adalah sebagaimana yang dikutip Maemunah, mengapa sebagian besar disensor? Mengapa tak ada isi percakapan tentang hubungan baik antar manusia? Atau peringatan saya bahwa aktivis LSM yang giat mengadvokasi isu pencemaran Teluk Buyat tidak akan senang melihat saya bercakap-cakap dengan Surtini?

Kedua, dalam salah satu kutipan disebutkan Surtini menyatakan, ’’..., Newmont tak berhenti mengganggu kami, berusaha membuat kami menyesal pindah dari Teluk Buyat.’’ Pernyataan yang mengharukan. Faktanya, yang terus-menerus didemo, dicaci-maki, dan dihujat oleh warga eks pemukim di Teluk Buyat selama ini adalah Newmont; bahkan setelah Pengadilan Negeri (PN) Manado membuktikan tak ada pencemaran di Teluk Buyat.

Apa untungnya bagi Newmont membuat warga eks pemukim menyesali kepindahan mereka, bila saat ini cukup banyak dari mereka yang terus-menerus kembali ke teluk Buyat dan daerah sekitarnya untuk mencari nafkah?

Ketiga, Maemunah terlalu mendramatisir (saya kira ini salah satu keahlian khusus aktivis LSM seperti Maemunah) bahwa saya berulang kali bertemu Surtini, terutama di proses persidangan pidana yang didakwakan pada PT NMR dan Presdir-nya, Richard Ness, di PN Manado.

Yang benar adalah saya tahu dan kenal Surtini Paputungan lebih 10 tahun silam; tetapi sejak tuduhan pencemaran Teluk Buyat merebak kembali pada pertengahan 2004, baru dua kali bertemu langsung dengan yang bersangkutan. Yang pertama di Universitas Hasanudin, Makassar, Rabu 4 Mei 2005, saat peluncuran buku Minamata Byo yang ditulis oleh pendiri Institut Minamata, Profesor Harada Masazumi; dan yang kedua di UP Diliman, Quezon City.

Di pertemuan pertama tak ada percakapan antara saya dan Surtini. Saya hanya menyaksikan bagaimana aktivis Walhi Sulawesi Selatan menyodorkan Surtini –yang hadir bersama Dr Rignolda Djamaludin dan dr Jane Pangemanan— untuk bersaksi betapa menderitanya warga Teluk Buyat akibat cemaran merkuri (Hg) dari tailing PT NMR.

Namun, yang terjadi adalah anti klimaks. Setelah serangkaian pernyataan dan pertanyaan dari Rignolda Djamaludin tentang Teluk Buyat (termasuk undangan pada Prof Harada untuk meneliti kawasan cemar ini), dengan senyum lebar dijawab tegas oleh Sang Profesor: ‘’Saya sudah pernah meneliti di Buyat. Berdasarkan hasil penelitian saya, kadar merkuri di sana sangat (sangat) kecil.’’

Satu hari setelah itu, pernyataan Prof Harada itu kemudian dikutip oleh beberapa media yang terbit di Makassar.

Saya percaya Surtini Paputungan belum lupa peristiwa itu. Dan saya percaya pula bahwa dia tahu persis bagaimana lebarnya tawa saya di hadapan para aktivis yang sejak 1995 dengan gagah berani, pantang mundur, menuduh PT NMR mencemari Teluk Buyat dengan aneka rupa logam berat.

Keempat, penggambaran Siti Maemunah seolah-olah saya menekan Surtini dengan kisah 30 juta dolar AS dan politik uang (janji-janji bahwa Newmont akan membangun perumahan, berbagai fasilitas, dan memberikan kemewahan bila warga eks Teluk Buyat tidak pindah ke Duminanga), sungguh humor sangat segar. Demo warga eks Teluk Buyat yang pindah ke Duminanga di Manado, di hari yang sama saat saya bertemu Surtini di Quezon City, cukup menjadi jawaban.

Lagipula, apa andil Jatam terhadap kepindahan warga eks Teluk Buyat ke Duminanga? Mungkin Maemunah pura-pura lupa atau memang klaim ada hal biasa buat yang bersangkutan, namun sekadar mengingatkan: yang memindahkan warga eks Teluk Buyat ke Duminanga adalah Komite Kemanusiaan untuk Teluk Buyat (KKTB). Bukan Jatam atau LSM advokasi tambang lainnya.

Kelima, kalau Surtini begitu piawai berdebat, mengapa saya tidak diizinkan hadir dalam sesi kesaksiannya sebagai ’’korban operasi tambang PT NMR’’? Kalau apa yang dia sampaikan adalah fakta dan kebenaran, apa daya saya membantah di depan forum yang seluruh isinya adalah aktivis LSM anti tambang dan warga korban tambang?

Ibaratnya, dalam situasi seperti itu, saya adalah seekor domba di tengah singa dan harimau.

Keenam, begitu banyak kekeliruan informasi sederhana yang ditulis Maemunah membuat saya terkaget-kaget. Misalnya, saya bukanlah Humas Newmont melainkan salah satu manager di Divisi Business Development; pengelola dana 30 juta dolar AS bukanlah Yayasan Minahasa Raya tetapi YPBSU; atau 66 KK yang pindah dari Teluk Buyat ke Dumingga dan hanya 7 yang bekerja pada Newmont memilih tinggal, padahal yang benar 68 KK yang pindah dan ada 23 KK yang memilih tinggal tidak terkait sama sekali dengan pekerjaan mereka, sekali pun di Newmont.

Untuk spekulasi bahwa warga yang memilih tetap bermukim di Teluk Buyat semata karena mereka bekerja dengan Newmont, Maemunah sungguh memandang enteng kemampuan berfikir mereka.

Tapi saya tidak heran bila Maemunah, yang biasanya selalu terlalu bersemangat dan berkacamata kuda, lebih banyak keliru dibanding benarnya.

***

Sejak awal kisah pencemaran Teluk Buyat memang adalah kekeliruan tak habis-habisnya; untuk tidak disebutkan sebagai manipulasi.

Tuduhan PT NMR mencemari Teluk Buyat pertama kali diangkat ke permukaan pada 11 Agustus 1995, ketika Harian Manado Post menurunkan berita bertajuk Dituduh Buang Limbah, PT NMR Diadukan 32 KK ke LBH. Yang membawa 32 KK ke LBH Manado adalah Walhi Sulawesi Utara. Tuduhan 32 KK yang bermukim di Teluk Buyat itu tentu tidak main-main, apalagi mereka didampingi LSM sekaliber Walhi.

Faktanya, pada Agustus 1995 processing plan PT NMR masih dalam proses pengerjaan; pemipaan masih berlangsung; dan sama sekali belum ada aktivitas produksi. Produksi awal PT NMR barulah dimulai pada 23 Maret 1996, atau hampir tujuh bulan sesudahnya.

Kita harus menyebut dusta, manipulasi, atau apakah pengaduan 32 KK itu? Harus disebut apakah pula sejumlah aktor dan dalang di baliknya?

Satu bukti itu saja saya kira sudah menjelaskan niat seperti apa sesungguhnya yang sejak awal sudah ada di kepala LSM anti tambang dan para aktivisnya terhadap operasi PT NMR. Tidak perlu tumpukkan bukti menggunung yang sebagian besar sudah disampaikan di saat persidangan terhadap PT NMR dan Richard Ness di PN Manado. Tidak perlu pula kronologi rinci bagaimana LSM anti tambang dengan mudah mengubah-ngubah tuduhannya, dari Minamata di Minahasa (ini sekaligus judul publikasi yang diterbitkan Walhi-Jatam pada 2001), Singkap Buyat: Temuan, Pengabaian, Kolusi yang ditulis Radja Siregar (Walhi, 2006) –yang banyak sekali isi substansialnya, termasuk rumus matematika penting yang dijadikan salah satu dasar tuduhan pencemaran Teluk Buyat, ternyata super keliru--, hingga yang teranyar keracunan arsenik.

Sebagai warga lokal Sulawesi Utara, lebih khusus lagi Kabupaten Bolaang Mongondow, saya hafal hampir seluruh kisah tuduhan pencemaran Teluk Buyat, bahkan jauh sebelum saya mulai bergabung dengan Newmont.

Karenanya, merunut isu pencemaran Teluk Buyat hingga hari ini –yang tak boleh dilupakan: sejarah kelahiran Jatam juga tak lepas dari gerakan advokasi terhadap PT NMR--, bahkan bila percakapan dengan Surtini yang dikutip oleh Siti Maemunah benar demikian adanya, saya tidak pernah menyesali apa yang diucapkan. Justru saya ingin mengkonfirmasi, bila benar kalimat-kalimat saya seperti itu, maka biarlah menjadi pelajaran pada Surtini (dan juga warga eks pemukim Teluk Buyat lainnya) agar tak mudah ditipu dan dimanipulasi.

Pun, agar Surtini dan warga eks pemukim Teluk Buyat di Duminanga meresapi mereka benar-benar adalah korban. Korban dari dusta, manipulasi, dan kepentingan sekelompok orang atas nama advokasi.

Khusus untuk Siti Maemunah, saya amat sangat berterima kasih karena mempromosikan betapa saya harus diperhitungkan di kalangan anti tambang. Mae –saya kira ini sapaan akrab teman-temannya untuk Maemunah--, Anda membuat saya agak besar kepala!

Jakarta, 5 November 2007.-
(Tanggalnya memang mundur hampir satu bulan dari hari penulisan, seperti tuduhan pencemaran Teluk Buyat yang mundur hampir tujuh bulan dari dimulainya operasi PT NMR)