Rabu, 19 Desember 2007

Konspirasi Dungu

Tulisan ini sudah dipublikasi oleh Koran Tempo, Rabu 19 Desember 2007, halaman A11. Kasus Bersihar Lubis, menurut saya, memberikan pelajaran lain, bahwa solidaritas di kalangan media makin minim. Tidak banyak media yang memberikan perhatian, apalagi simpati, empati, dan dukungan terhadap Bersihar. Padahal, kasus ini bisa berdampak jangka panjang bagi perkembangan media, lebih khusus kreativitas berfikir, dunia tulis menulis, dan sikap kritis, di negeri ini.

PENULIS (opini) di Indonesia, waspadalah!

Gara-gara tulisan kolom di Koran Tempo, Sabtu 17 Maret 2007 (Kisah Interogator yang Dungu), Bersihar Lubis diseret ke depan hukum. Di sidang yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Jawa Barat, mantan wartawan ini dijerat pasal 207 KUHP karena menghina suatu penguasa atau badan umum di muka umum dengan lisan atau tulisan, serta pasal 316 jo pasal 310 (ayat 1) tentang pencemaran nama baik –dalam hal ini Kejaksaan Agung. Ancamannya: pidana delapan bulan penjara.

Sejatinya, perkara yang melibat Bersihar Lubis bukan yang pertama di negeri ini. Namun, umumnya kasus-kasus seperti ini dengan cepat terlupa –apalagi yang dijerat hanya wartawan daerah yang bekerja di media lokal; atau penulis tak dikenal--, kecuali yang pernah disangkakan pada almarhum HB Jassin.

Pada 1968 kejaksaan membawa Pemimpin Redaksi Majalah Sastra itu ke depan hukum gara-gara pemuatan cerita pendek Langit Makin Mendung (LMM) yang ditulis Ki Panji Kusmin. Bahkan, Jassin yang belakangan ditahbiskan menjadi Paus Sastra Indonesia pun dibui gara-gara membela pemuatan cerita ini.

Perkara Bersihar Lubis dan LMM jelas tak dapat disetarakan. Bersihar menulis fakta dilengkapi analisis dan pendapatnya; sedangkan Ki Panji Kusmin menuliskan tafsir imajinatif yang menyerempet sosok Nabi Muhammad SAW, yang berpotensi pencemaran dan penghinaan bagi para pemeluk Islam.

Apa yang terjadi setelah hampir 40 tahun publikasi LMM? Jassin sudah ’’berpulang’’ dengan nama yang harum di peta sastra Indonesia; Ki Panji Kusmin tak ketahuan nasibnya; dan LMM bisa dengan mudah ditemukan –termasuk dengan mengunduh dari Internet. Dan yang terpenting: kini, setelah membaca LMM, tidak ada umat Islam yang meradang; apalagi menumpahkan darah.

Lepas dari perkara kebebasan pendapat yang dijamin Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945; dan khusus untuk opini sebagai karya jurnalistik oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kasus Kejaksaan Agung versus Bersihar Lubis ini menjelaskan beberapa hal:

Pertama, logika hukum institusi penegakan hukum seperti kejaksaan ternyata gagap menerjemahkan kasus sesederhana Kisah Interogator yang Dungu.

Kedunguan interogator dari kejaksaan yang dikutip Bersihar sejatinya adalah pernyataan Joesoef Ishak dari Penerbit Hasta Mitra (yang menerbitkan hampir semua karya Pramoedya Ananta Toer) pada 2004. Harap diingat, sebagaimana pengakuan Bersihar, Majalah Medium sudah pernah memuat kutipan ini di tahun yang sama.

Pernyataan Joesoef Ishak itu berkaitan dengan maraknya pelarangan beberapa versi buku sejarah SMP dan SMU karena tak mencantumkan peristiwa G 30 S, kembali dikutip dalam tulisan yang dimuat di Koran Tempo.

Bagi saya yang sangat awam masalah hukum, ada logika tak genah ketika Bersihar Lubis dijerat hukum sedang Joesoef Ishak sebagai sumber; Majalah Medium sebagai yang pertama mempublikasi; dan Koran Tempo yang mempublikasi ulang –dalam konteks dan versi yang lain--, sama sekali tidak disentuh.

Dengan logika hukum yang benar, para pihak itu harusnya diseret ke pengadilan dan didakwa dengan pasal lebih berat karena secara bersama-sama berkonspirasi menghina dan mencemarkan nama baik institusi negara, sekaligus menyiarkannya. Apalagi keputusan menyiarkannya paling tidak telah melewati rapat redaksi di dua media yang dirujuk, Majalah Medium dan Koran Tempo.

Kedua, penguasaan Bahasa Indonesia aparat kejaksaan (terutama dua jaksa yang menjadi saksi pelapor, Pudin Saprudin dan Abdul Syukur), sungguh menyedihkan.

Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) Edisi Ketiga (2006) terbitan Balai Pustaka, W. J. S. Purwadarminta menjelaskan, dungu berarti: sangat tumpul otaknya (pikirannya); tidak mudah mengerti; bodoh. Sedang Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, juga terbitan Balai Pustaka (2005), memaknai dungu sebagai: sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh.

Apa yang salah dengan seorang interogator yang tidak mudah mengerti atau tidak cerdas? Apa pula yang salah bila ada atasan yang tidak mudah mengerti atau tidak cerdas, memerintahkan seorang bawahan yang juga tidak mudah mengerti atau tidak cerdas, melakukan sebuah pekerjaan penting seperti interogasi? Kejaksaan toh bukan institusi para malaikat.

Ketiga, kasus ini dengan gamblang memaparkan bahwa institusi penegakkan hukum di negeri ini gemar menggunakan standar ganda. Kalau dungu adalah aib, bagaimana dengan jaksa yang makan suap; main narkotika; atau memeras tersangka sebagaimana yang bertebaran di media massa? Tidakkah penyiaran perilaku jaksa seperti itu lebih menghina dibanding kedunguan karena tak bisa menjelaskan isi sebuah buku?

Faktanya, bila ada jaksa yang terbukti makan suap; main narkotika; atau memeras tersangka, dengan gesit institusi ini melekatkan kata oknum. Karena oknum, maka yang bersangkutan harus dimutasi atau dipecat agar nama baik institusi tak cemar.

Mengapa standar yang sama tidak diterapkan untuk sang interogator yang dungu?

Keempat, kegamangan institusi penegakkan hukum seperti kejaksaan dalam melaksanakan kewajibannya. Seberapa penting perasaan terhina subyektif bagi kejaksaan dibanding mengungkapkan, misalnya, kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), tuduhan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto, atau pembunuhan aktivis HAM Munir?

Tidakkah institusi kejaksaan merasa lebih terhina karena dituduh hanya berani mengurusi masalah sepele, yang melibatkan orang biasa (tanpa kuasa atau kapital besar) seperti Bersihar, dengan kasus yang amat sumir pula? Mampukah pula kejaksaan menelisik semua publikasi, terutama Internet, dan menyeret orang-orang yang kian biasa melontarkan bukan hanya kritik tetapi aneka makian terhadap institusi negara dan penegak hukum di negeri ini?

Dalam skala tertentu, apa yang ditulis Bersihar justru tergolong belum seberapa, dibanding, misalnya, yang ditulis Michael Moore di Amerika Serikat. Apa reaksi institusi penegak hukum bila di Indonesia ada penulis seberani Moore yang dengan lancang menyebut Presiden AS Goerge Bush sebagai thief-in-chief di buku best seller-nya, Stupid White Men (Regan Books, 2001).

Lepas dari susah payahnya kita ingin menegakkan demokratisasi, di mana kebebasan bicara dan kritik adalah kewajiban dan hak bagi warga negara --terutama terhadap institusi negara--, gugatan terhadap Bersihar sungguh jauh dari logika paling normatif sekaligus.

Lalu apa pelajaran terpenting yang dapat dipetik dari kasus ini?

Menurut hemat saya, yang mesti sungguh-sungguh diindahkan adalah: bersalah atau tidak Bersihar Lubis, ’’ketersingungan’’ institusional Kejaksaan Agung –eksplisit dan implisit-- justru mengabsahkan memang ada interogator dungu di tubuh institusi ini. Dan kalau pun Bersihar Lubis akhirnya dihukum, lebih pada pembenaran bahwa menulis dan menyiarkan kedunguan adalah perbuatan pidana.

Dengan kata lain, Pusat Bahasa pun harus memberi peringatan khusus pada kata dungu, agar tidak ada lagi orang dungu yang sembarangan menggunakan dan menyiarkannya.***

Jakarta, 8 Desember 2007.-