Minggu, 16 Desember 2007

Tragedi Emil Salim

DI PANGGUNG Kampung Bali CSF (Civil Society Forum), Nusa Dua, Jumat petang (7 Desember 2007), Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim, Emil Salim, diteriaki dengan sebutan komprador oleh sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Tudingan komprador (antek negara asing) itu dengan segera menyebar lewat email, situs-situs berita, dan media massa, termasuk Kompas yang mempublikasikan di edisi Sabtu 8 Desember 2007 (Perubahan Iklim: Emil Salim Merasa Tersinggung). Apa yang terjadi pada Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) yang di beberapa dekade terakhir nyaris sendirian berada di garis terdepan di generasinya memperjuangkan isu lingkungan di Indonesia, sungguh sebuah tragedi.


Mestinya bukan hanya Emil Salim—yang digambarkan dalam banyak pemberitaan segera meninggalkan tempat— yang pantas tersinggung; tapi seluruh masyarakat Indonesia, dan lebih khusus lagi kalangan aktivis lingkungan sendiri. Suka atau tidak, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam isu-isu lingkungan tokoh yang kegigihan dan konsistensinya setara Emil Salim tidaklah banyak di negeri ini. Untuk menyebut jumlah yang amat sangat sedikit itu, salah satunya hanya Profesor Otto Soemarwoto.

Rakyat negeri ini pantas tersinggung karena Emil Salim adalah Ketua Delegasi Indonesia. Tokoh-tokoh yang terpilih sebagai anggota delegasi adalah nama-nama kredibel yang sudah teruji di bidangnya masing-masing. Mereka tidak hanya merepresentasikan kehadiran Indonesia di forum internasional itu; tetapi juga mewakili dan memperjuangkan seluruh kepentingan negara dan bangsa di hadapan isu perubahan iklim global.

‘’Penghinaan’’ terhadap seorang Ketua Delegasi –bahkan kalau pun hanya terhadap Emil Salim pribadi, mengingat ketokohannya—sungguh aib yang tidak beradab. Apalagi bila hal sedemikian dilakukan oleh para aktivis (lingkungan) yang mengklaim dirinya peduli dan memperjuangkan kepentingan lingkungan di negeri ini.

Tindakan itu tak beda dengan mencoreng wajah sendiri di hadapan negara dan bangsa yang lain.

Dan kalangan aktivis lingkungan di Indonesia? Astaga, siapakah elit LSM dan tokoh-tokoh penggerak isu lingkungan di negeri ini yang tak menaruh hormat dan penghargaan tinggi pada Emil Salim? Tentu bukan tanpa kritik, sebab sebagai salah seorang dari kelompok arsitek ekonomi orde baru (Orba) –dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley--, sedikit-banyak Emil Salim juga punya sumbangsih terhadap orientasi ekonomi Indonesia yang sangat lapar sumber daya alam.

Namun, sekeras apapun kritik kalangan aktivis dan pro lingkungan di Indonesia, tak ada yang bisa membantah bahwa selama 15 tahun menjabat Meneg LH, Emil Salim menjadi salah satu ujung tombak perjuangan menyeimbangkan orientasi ekonomi yang lapar SDA dan pembangunan yang mengindahkan keberlanjutan ekologi. Di masa Emil Salim pulalah, atas peran dan dukungannya, organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) leluasa tumbuh dan berkiprah.

Dengan kata lain, sehebat apapun para aktivis –saya yakin umumnya masih berusia muda—yang meneriakkan tuduhan komprador, mereka jauh dari layak memberikan penghakiman, bahkan bila seluruh nilai-nilai positif peran Emil Salim di negeri ini habis dikurangi nilai negatifnya.

Banalnya perilaku para aktivis lingkungan itu bukan tak terduga sebelumnya. Hans Antlov, Rustam Ibrahim, dan Peter van Tuijl sudah menuliskan kekuatiran terhadap sepak terjang LSM dan para aktivisnya di Indonesia di era setelah jatuhnya rezim Orba pada 1998 (NGO Governance and Accountabilty in Indonesia: Challenges in a Newly Democratizing Country), yang menjadi salah satu bab dalam NGO Accountability: Politics, Principles & Invovations (Earthscan, London, 2006).

Salah satu kekuatiran Antlov, Ibrahim, dan van Tuilj adalah, kalangan LSM yang lepas dari kungkungan dan represi serta marginalisasi rezim Orba, hanya punya sedikit pengalaman membangun hubungan positif dengan pemerintah, sektor swasta, dan bahkan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Padahal, tantangan yang dihadapi makin kompleks, dan kalangan LSM dan aktivisnya bukan lagi satu-satunya pihak yang bisa meng-klaim sebagai garda depan memperjuangan kepentingan masyarakat; dan juga kepentingan menjaga ekologi dan keberlangsungan lingkungan dalam konteks gerakan kesadaran lingkungan.

Kegagapan orientasi LSM dan aktivisnya itulah yang ditunjukkan saat menghakimi Emil Salim dengan tuduhan komprador. Masalahnya, apakah kalangan LSM, utamanya kelompok yang bergabung dan CSF, menyadari bahwa perilaku para aktivis itu bukan hanya berpotensi kerusakan jangka pendek?

Harus diingat, bila tokoh sekaliber Emil Salim yang sudah teruji konsistensinya masih diperhinakan, bagaimana dengan pengusung gerakan lingkungan lain yang ketokohannya belum setara?

Tak pelak, tragedi yang menimpa Emil Salim di Panggung Kampung Bali CSF adalah titik balik dan tanda awas bagi gerakan lingkungan di Indonesia. LSM lingkungan dan para aktivisnya harus mulai menyadari, kita bukan hanya hidup di bumi yang sama dengan problem yang sama; tetapi juga memperjuangkan kesadaran tidaklah mesti diklaim sebagai pertempuran dan peperangan satu pihak saja melawan banyak pihak yang lain.

Kesendirian, seberapa pun ideologis, kuat, dan radikalnya, selalu berakhir sia-sia.***

Jakarta, 8 Desember 2007.-