Minggu, 28 Desember 2008

Novel di Rak Masakan

Tulisan ini sudah dipublikasi oleh Koran Tempo di Suplemen Ruang Baca, Minggu, 28 Desember 2008.

APRESIASI buruk terhadap buku sebagai karya intelektual justru kerap kita temui di toko buku.

Satu hari selepas jam kantor saya bertemu Direktur Utama Penerbit Republika Tommy Tamtomo di pusat belanja yang menjulang di jantung Kawasan Sudirman. Tujuan kami kebetulan sama: salah satu toko buku yang menjadi bagian jaringan toko buku besar di Indonesia.

Bersua direktur utama perusahan penerbitan, di toko buku, tentu topiknya tak jauh-jauh dari buku. Mumpung bertemu orang yang tepat, tak ada salahnya ngedumel perkara bagaimana toko buku --juga kalangan penerbit --yang seharusnya menjadi garda depan aspresiasi buku, malah kerap merusak ‘’selera’’ rakyat pembaca.

Contoh sederhana yang saya kemukakan adalah bagaimana sembrononya pengelola toko buku meletakkan buku bagus di tempat yang salah. Misalnya, buku manajemen atau sejarah di bagian novel. Akibatnya, orang-orang yang serius hanya meminati bidang ini, yang sibuk dan datang ke toko buku langsung ke section yang dituju, kehilangan kesempatan seketika mendapatkan buku dimaksud. Apalagi kalau sang pembaca emoh berurusan dengan katalog digital yang biasanya disediakan di toko-toko buku besar.

Lucunya, belum lagi kering mulut bicara, di bagian buku-buku masakan, tiba-tiba Tommy melihat terbitan Penerbit Republika, From Kitchen with Love, yang ditulis Lia Heliana (2008). Spontan dia berucap, ‘’Lo, ini bukan buku masakan. Ini novel.’’

Saya hanya bisa mengeleng-ngeleng dan tergelak.

Bagi saya, menjelajahi toko buku sebagai ritual mingguan telah lama jadi pengelanaan eksotis sekaligus menjengkelkan. Bukan sekali-dua saya menemukan buku yang keliru besar peletakannya. Tanpa bermaksud menyalahkan, apalagi geram terhadap kebanyakan ‘’petugas lapangan’’ di toko-toko buku besar yang berseragam apik dan rata-rata berusia muda, mereka umumnya memperlakukan buku tak lebih dari komoditas lain. Tak lebih baik dari barang kelontong atau consumers goods di supermarket: Tidak lebih dan tak kurang dari jualan belaka.

Apa yang terjadi pada From Kitchen with Love, misalnya, terjadi pula pada buku Laura Esquivel, Like Water for Chocolate (1989). Para pemburu film bermutu tahu persis buku ini sudah difilmkan di Meksiko dengan tajuk Como aqua para chocolate dan meraih 11 penghargaan (termasuk film terbaik) di Mexico Film Festival pada 1992.

Saking bagusnya, film Like Water for Chocolate yang skenarionya juga ditulis Esquival bahkan menjadi salah satu film asing yang diapresiasi sangat tinggi di Amerika Serikat.
Di Indonesia, di mana filmnya jelas tak bakal beredar (karena film bagus biasanya cuma untuk para maniak film), bukunya yang diterbitkan Penerbit KutuBuku (Januari 2005), oleh para pengelola toko buku dengan gagah perkasa diletakkan di bagian masakan. Tak heran bila buku yang mencatat best seller di mana-mana ini, di negeri ini sama sekali tak dilirik pembaca (kecuali mereka yang terbiasa mengikuti resensi buku di situs-situs buku dunia dan gigih melacak kalau-kalau sudah diterjemahkan).

Lagi pula siapa peduli urusan air dan coklat kecuali para penyuka kuliner yang doyan mencoba-coba resep masakan berkadar coklat tinggi?

Daftar buku bagus yang salah tempat di toko buku di Indonesia mungkin bisa ditulis jadi buku tersendiri. Datang dan carilah Hafalan Shalat Delisa (Penerbit Republika, 2005) yang ditulis Tere Liye. Saya hampir bisa memastikan buku yang berkisah tentang bacaan salat anak usia enam tahun berlatar bencana tsunami di Aceh ini tak akan ditemukan di rak-rak fiksi. Carilah di rak ‘’Agama’’ atau ‘’Tata Cara Sholat’’ dan Anda pasti akan menemukan dengan segera.

Kasus yang sama terjadi pada Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (E.J. Brill, Leiden, 1963) karangan Annemarie Schimmel terbitan Penerbit Lazuardi (Agustus 2003) dengan judul Sayap Jibril: Gagasan Religius Muhammad Iqbal; 1421: The Year Chine Discovered The World dari Gavin Menzies (Batam Books, 2002) terbitan Pustaka Alvabet dengan judul 1421: Saat Cina Menemukan Dunia (2007); atau Mr China dari Tim Clissod (Robinson, 2004) yang juga diindonesiakan oleh Penerbit Alvabet (Mr China: Kisah Dramatis tentang Kejatuhan Jutawan Wall Street di Negeri Tirai Bambu, 2007). Mudah ditebak, buku yang masing-masing masuk kategori agama, sejarah, dan ekonomi (atau paling minim otobirografi) ini justru dipajang penuh gaya di tumpukan fiksi, lebih khusus novel.

Kekeliruan menempatkan buku Menzies dan Clissod yang mengupas masalah superserius (lewat riset bertahun-tahun) dengan pendekatan bertutur, yang mengalir bagai pendongeng tengah berkisah di bagian fiksi, masih bisa dimaafkan. Tapi buku Schimmel yang di-jelimeti kutipan filosofis pikiran-pikiran Muhammad Iqbal di tengah jejeran novel kontemporer, jelas, keteledoran yang tak bisa ditoleransi hanya dengan kata ‘’maaf’’.

Sama tak termaafkannya dengan penempatan karya fiksi Elizabeth Kostova, The Historian (Little, Brown and Company, 2005) yang diindonesia-kan dengan judul The Historian: Sang Sejarawan (Gramedia Pustaka Utama, 2007) di kategori buku ‘’Sejarah’’, disanding bersama History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present dari Philip K. Hitti (Palgrave Macmillan, 2002) yang diedarkankan di Indonesia dengan judul History of The Arabs (Serambi, 2005). Pun, The Orchid Thief dari Susan Orlean (Random House, 1998) yang diterbitkan oleh Banana pada 2007 dengan judul Pencuri Anggrek, yang oleh toko-toko buku diletakkan di rak ‘Psikologi’’ atau ‘’Perilaku Menyimpang’’.

Celakanya, mengingatkan atau menyarankan pengelola toko buku agar memindahkan buku-buku tersebut ke tempat yang tepat juga sia-sia belaka.

Sebab itu, wahai para pemburu buku, terutama penyuka topik terkini tentang ekonomi dan manajemen, jangan heran bila satu saat nanti Anda menemukan edisi Indonesia Cannibals with Forks (New Society Publisher, 1998) yang ditulis John Elkington di rak ‘’Tata Cara Makan’’. Saya hanya bisa bilang: usap dada dan diamkan; atau gotong seluruh edisi yang tersedia ke rak ‘’Ekonomi dan Manajemen’’ dan silahkan tata sendiri.***